[Latest News][6]

Internasional
Israel-Palestina
Nasional
Olahraga
Papua
Pasifik
Pertahanan & Keamanan
Politik
Sejarah
Sorotan
Tren Sosial

Ketika ‘Tragedi Mei 1998’ Sebabkan Ribuan Orang Tionghoa Mengungsi Tapi Hati Mereka Tetap Tinggal

Dua hari ini Indonesia dikejutkan dengan aksi demontrasi yang berujung kerusuhan di Jakarta. Ini adalah kerusuhan politik terburuk sejak 1998. Berlangsung pada bulan dan di kota yang sama, ada banyak alasan bagi sebagian orang untuk merasa khawatir bahkan takut dan marah dengan situasi yang sedang terjadi saat ini. Meski memiliki latar belakang yang berbeda dari tragedi 21 tahun lalu, eskalasi kecil ini tidak dapat diremehkan seiiring lambatnya elit menurunkan tensi politik. Ada baiknya kita kembali mengenang sejarah kelam dua dekade yang lalu sambil berharap semua orang bertindak tidak melewati batas di bulan Ramadhan yang berkah ini. Tony Thamsir seorang diaspora Tionghoa Indonesia mengenang peristiwa yang mengubah hidupnya dari tempat tinggal barunya. Meski keluarganya menerima dampak buruk dari kerusuhan masa lalu, ia tetap aktif mengikuti perkembangan negara kelahirannya dari jauh.

Tony Thamsir, seorang keturunan etnis Tionghoa yang lahir di Medan dan dibesarkan di Jakarta, berada di semester keempat di Universitas Nasional Chengchi di Taiwan ketika kerusuhan anti Tionghoa - dulu disebut anti Cina - pecah di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia bulan Mei 1998. Tony mengenang panggilan telepon panik dari ibunya yang menggambarkan bagaimana keluarganya berusaha melarikan diri setelah massa membakar Rumah tetangganya di kecamatan Jelambar, Jakarta Barat yang dihuni banyak warga Tionghoa.

“Kami tidak bisa melakukan apa-apa sekarang, tapi untungnya, ada sungai di depan kami,’ kata ibu saya,” kenang Tony, menjelaskan bahwa penduduk telah memblokir jembatan yang akan memungkinkan massa menyeberangi sungai dan mengakses rumah keluarganya. “Kemudian adik lelaki saya mengambil telepon dan menyuruh saya berhenti berbicara. Dia mengatakan bahwa para anggota keluarga akan bergiliran untuk berpatroli tetapi dia akan menusuk siapa pun yang menerobos masuk.”

Massa perusuh menyerang rumah-rumah dan bisnis-bisnis milik etnis Tionghoa. Kerusuhan itu juga menimbulkan korban jiwa yang mengerikan, kelompok HAM memperkirakan lebih dari 100 wanita diperkosa dan lebih dari 1.000 orang terbunuh. Massa aksi diprovokasi oleh para penghasut saat itu bahwa etnis Tionghoa menimbun beras selama krisis ekonomi.

Kerusuhan aksi 21 - 22 Mei 2019 di Jakarta telah mengakibatkan pembatasan pada akses internet dan media sosial dimana saat ini telah jauh lebih mendominasi cara berfikir masyarakat Indonesia, terutama Jakarta dengan populasi sepuluh juta jiwanya. Kerusuhan yang diprovokasi oleh media sosial juga terjadi di Sri Langka beberapa waktu lalu, membangkitkan ketegangan berdarah masa lalu di negara itu yang pernah mereda.

Tony, yang sedang belajar ilmu politik saat itu, terkejut dan marah dengan meletusnya kekerasan. Ia bergabung dengan para demonstran di jalanan Taiwan untuk menuntut agar pemerintah Indonesia mengakhiri apa yang ia sebut sebagai “tindakan keji yang berdampak pada komunitas Tionghoa.” Dia mengetuk pintu kantor perwakilan Indonesia di Taiwan dan Kementerian Luar Negeri Taiwan, meminta mereka menghentikan kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di Indonesia.

Sekitar 1.000 orang Tionghoa Indonesia mengungsi ke Taiwan termasuk Tony, menurut surat kabar Taipei Times, mengutip kantor legislatif Kuomintang (KMT) Apollo Chen. Sementara Human Rights Watch dalam laporan bulan September 1998, menyebutkan bahwa “puluhan ribu etnis Tionghoa Indonesia” telah melarikan diri ke Singapura, Australia, Hong Kong, dan negara-negara lain karena khawatir akan terjadi kerusuhan dan kekerasan anti-Tionghoa yang berlanjut. Bahkan menurut Aihwa Ong, seorang profesor antropologi University of California, Berkeley, menulis tahun 2003 bahwa 150.000 orang telah meninggalkan Indonesia.

Tony akhirnya mendengar kabar dari ibunya setelah beberapa hari kemudian, itu adalah percakapan yang menyedihkan. Keluarganya aman tetapi pabrik ayahnya telah dibakar habis. Akibatnya, Tony yang berusia 21 tahun harus mengurus dirinya sendiri, bekerja di sebuah restoran cepat saji dan sebagai penyiar radio paruh waktu demi mengejar gelar sarjana. Dia berkata, “Saya terus bertanya-tanya, mengapa Indonesia menjadi seperti itu? Mengapa?.

DI INDONESIA ‘ORANG KUAT’ SELALU MENGORBANKAN YANG LEMAH

FOTO: Seorang wanita bersepeda melewati sebuah toko yang ditulisi kata-kata ‘Muslim’ oleh warga yang bahkan non-Tionghoa untuk mencegah para penjarah menyerang rumah mereka di Sukamandi tahun 1998. (AP).
 
Setelah Tragedi Mei 1998, pemerintah China maupun Taiwan menyuarakan keprihatinan terhadap pemerintah Indonesia tentang perlindungan etnis Tionghoa. Jiang Zemin dan Habibie bertemu bulan November 1998, menyusul protes di kedutaan Indonesia di Beijing, Jiang mengatakan, “Kami berpendapat bahwa solusi yang tepat dari masalah orang Tionghoa Indonesia tidak hanya akan mewujudkan stabilitas jangka panjang Indonesia, tetapi juga kelancaran pembangunan hubungan kerjasama yang bersahabat dengan negara-negara tetangga.”

Dalam buku 'Anti-Chinese Violence in Indonesia' yang terbit tahun 2006 mengatakan bahwa Taiwan adalah salah satu negara yang paling aktif dan vokal dalam menanggapi kerusuhan. Pemerintah Taiwan mengancam akan menarik investasinya di Indonesia. Taiwan juga mengancam akan berhenti menerima pekerja migran Indonesia. Sementara itu, menjelang protes hasil Pemilu 2019, Amerika Serikat dan Singapura - dua negara paling strategis secara politik dan ekonomi bagi Indonesia - telah memberi peringatan keamanan bagi warga negaranya di Indonesia.

Monika Winarnita, akademisi dari Universitas La Trobe Australia, mengatakan bahwa Tragedi Mei 1998 masih bergema di kalangan generasi tua yang sudah “sangat berasimilasi” dan merasa “lebih Indonesia.” Monika memberi contoh orang Tionghoa yang menikah dengan orang-orang dari kelompok etnis yang berbeda, mengadopsi budaya Jawa, maupun praktik budaya lainnya. Selama masa pemerintahan Orde Baru Suharto dari tahun 1967 hingga 1998, ia memaksa komunitas Tionghoa untuk berasimilasi dengan melarang pengajaran bahasa Mandarin, melarang media berbahasa Mandarin, melarang perayaan festival Tionghoa, hingga melembagakan peraturan yang mengharuskan mereka untuk meninggalkan nama tradisional Tionghoa.

“Oleh karena itu, kerusuhan Mei 1998 sangat mengejutkan bagi beberapa orang yang telah meninggalkan semua identitas Tionghoa pasca 1965, mulai dari mengubah nama mereka hingga berhenti berbicara atau membaca bahasa Mandarin,” kata Winarnita. “Mereka seharusnya telah menjadi orang Indonesia seutuhnya, tetapi peristiwa Mei 1998 berarti mereka dibedakan dan diserang berdasarkan karakteristik etnis mereka.”

Jauh sebelum saat 1998, etnis Tionghoa Indonesia sudah lama menjadi penduduk Nusantara yang dibedakan. Para 'orang kuat' seperti penjajah Belanda hingga rezim Orde Baru menumbuhkan dan membiarkan sentimen anti-Tionghoa menyebar diantara penduduk Nusantara lainnya. Mereka dibedakan karena berbedaan ras dan kemampuan ekonominya. Stigma yang terbangun seolah menepis fakta lainnya dimana etnis Tionghoa Singkawang di Kalimantan banyak yang hidup miskin sama seperti orang-orang di Pulau Jawa dan Nusantara.

DIASPORA TIONGHOA MENGIKUTI PERKEMBANGAN INDONESIA

FOTO: Joko Widodo menyapa para pendukungnya di Konser Putih Bersatu, kampanye terbesar di Pemilu 2019 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu 13 April. (Reuters/Edgar Su).

Lulus tahun 2000 Tony kemudian menjadi penasihat untuk walikota Ma Ying-jeou. Tony menggunakan keterampilan bahasa Indonesia dan Mandarin untuk mengatasi masalah yang menimpa para pekerja migran Indonesia yang saat ini mencapai 270.000 orang. Dia meninggalkan pekerjaan itu tahun 2006 dan sejak itu mengelola majalah berbahasa Indonesia untuk pembaca di Taiwan, membangun restoran, dan berinvestasi di berbagai bisnis. Tony saat ini menjadi penasihat di serikat pekerja migran Indonesia di Taiwan (IPIT) dan populer di masyarakat dengan 23.000 penggemar di Facebook.

Meskipun kecewa dengan Indonesia, Tony yang kini berusia 42 tahun masih memegang paspor Indonesia dan memainkan peran aktif dalam politik Indonesia. Tony mengambil bagian dalam komite pengawas pemilihan yang diadakan di Taipei untuk Pilpres tahun 2009. Dua tahun lalu, ia mengorganisir flash mob untuk mendukung mantan gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, dan saat ini mengerahkan dukungan untuk Joko Widodo.

“Saya dianggap sebagai orang Indonesia oleh orang Taiwan. Saya belum pernah dipandang sebagai orang Taiwan atau bahkan orang China daratan, walaupun saya terlihat seperti orang China,” kata Tony. “Saya pikir ini menunjukkan betapa saya peduli terhadap Indonesia. Kepedulian saya terhadap negara saya tidak pernah berakhir.”

Sementara, Amina Tjandra memilih untuk tinggal di Taiwan bersama bibinya, berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat ia memiliki gelar di bidang ekonomi dan manajemen dari Universitas Atma Jaya di Yogyakarta. Amina merasa lebih aman berada di antara orang-orang Taiwan daripada berada di tanah kelahirannya. Meski orang Taiwan masih melihatnya berbeda “karena karakteristik wajah saya seperti mata saya, yang lebih besar dan tidak sesipit mata mereka, dan aksen saya,” itu telah memicu rasa ingin tahu, bukan perasaan tidak suka.

“Karena ada perbedaan, mereka ingin tahu lebih banyak tentang Indonesia atau Tionghoa di Indonesia dan apa pun tentang Indonesia,” katanya. “Itu karena masyarakat Taiwan dapat menerima perbedaan, hidup dengan toleransi. Pemerintah menekankan pentingnya multikulturalisme sehingga masyarakat Taiwan sekarang dapat menerima pendatang baru.”

Bagi Amina Tjandra dan Tony Thamsir, ingatan akan kerusuhan dan kecaman berbau rasial yang mereka alami ketika beranjak dewasa menyebabkan perasaan campur aduk tentang negara kelahirannya, Indonesia.

Amina memandang dirinya sebagai orang Indonesia di Taiwan dan mengatakan dia mungkin ingin kembali saat lanjut usia. “Siapa yang tahu? Jadi saya masih memegang paspor Indonesia (setelah tinggal di Taiwan selama sekitar 20 tahun).”

Amina menyesalkan bahwa sentimen anti-Tionghoa masih tumbuh subur di Indonesia. Dalam Pemilu 2019 baru-baru ini, berita palsu di media sosial yang menyebar bahwa pemerintah telah dikontrol China memicu ketakutan di kalangan warga keturunan Tionghoa bahwa mereka akan menjadi target kekerasan jika kerusuhan terjadi. “Tapi sepertinya ada kemajuan,” katanya. “Saya yakin bahwa sedikit demi sedikit akan ada perubahan bahwa dalam pola pikir orang Indonesia, bahwa mereka kelak akan menerima perbedaan.”

Sedangkan Tony Thamsir mengatakan bahwa ia memiliki alasan untuk tidak menyukai Indonesia. Namun, faktanya, ia merasa tidak pernah benar-benar terlepas dari Indonesia. “Saya cinta Indonesia,” katanya. “Saya tidak pernah yakin bisa membencinya, meskipun saya punya banyak alasan untuk membencinya.”

***

Penulis: Editorizal
Sumber: South China Morning Post | Mata Mata Politik

About

Editorizal adalah situs blog pribadi yang memuat artikel terbaik yang membahas berbagai topik yang menjadi perhatian penulis.

1 komentar

Start typing and press Enter to search